Wakil Sekjen DPN Peradi, Dr. H, Nurmalah, SH, MH, CLA bersama rekan rekan Advokat
TRIBUNCHANNEL.COM – Semarang – Dalam beberapa dekade terakhir ini kita sering dikejutkan dengan munculnya kasus kekerasan terhadap perempuan yang sudah direkayasa mpada akhirnya kebenaran tetap akan muncul juga.
Kasus Vina yang sangat viral berhasil mengguncang dunia hukum, dan menyedot perhatian di masyarakat kemudian muncul lagi kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak kalah viral. Pasalnya, Sidang Putusan Peradilan yang mengangkat kasus tindak kekerasan terhadap perempuan hingga mengakibatkan korban meninggal dunia, dimana dilakukan oleh kekasihnya, seorang pria yang terjadi di Surabaya, menjadi anti klimaks.
Keputusan Majelis Hakim dari Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan RT tidak bersalah pada hari Rabu (24/07/2024) lalu menuai banyak kritik dan kritisi dari masyarakat, bahkan dari beberapa tokoh praktisi hukum dan pembela kaum perempuan.
Ditempat terpisah DR. Hj. Nurmalah, SH., MH., CLA. mengemukakan pendapatnya mengenai viralnya keputusan hukum tersebut melalui pesan WA pada hari Sabtu, 27/7/2024 menyampaikan, “Kedilan kadang tidur sehingga tidak bisa melihat fakta yang sesungguhnya sehingga bukti – bukti yang dihadirkan tidak menjadikan pertimbangan Hakim dalam mengambil keputusan, “jelasnya.
Hukum kita kadang tidur dan perlu adanya campur tangan media, media sosial dan masyarakat yang dapat membangunkan kembali hukum tersebut. Tentunya ini sangat memprihatinkan bagi saya selaku Praktisi hukum serta pemerhati tindak kekerasan terhadap perempuan, “imbuhnya.
Tanggapan Nurmalah terkait kasus tersebut menjelaskan kalau korban nyata-nyata meninggal dan mendapatkan kekerasan fisik maka dicari apa penyebab luka yang ditemui pada tubuh korban sehingga korban meninggal dunia.
“Pasal-pasal yang bisa dijerat :
Kalau memang direncanakan untuk membunuh korban Pasal 340 KUHP ancaman hukuman mati.”
“Kalau sengaja untuk menghilangkan nyawa 338 KUHP ancaman 15 tahun penjara.”
“Kalau penganiayan yang menyebabkan mati Pasal 351 ayat (3) KUHP ancaman 7 tahun penjara.”
“Kalau karena kelalaian menyebabkan korban meninggal dunia Pasal 359 KUHP ancaman 5 tahun penjara.”
“Kalau dengan sengaja ditabrak menyebabkan korban meninggal dunia menggunakan kendaraan bermotor (setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik dan berupa mesin selain kendaraan yang berjalan diatas rel), Pasal 311 ayat (5) UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas, ancaman penjara 12 tahun, denda 24 juta.”
“Kalau karena kelalaian menyebabkan korban meninggal dunia menggunakan kendaraan bermotor (setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik dan berupa mesin selain kendaraan yang berjalan diatas rel), Pasal 310 ayat (4) UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas, ancaman penjara 6 tahun, denda 12 juta.
Selain itu bisa diterapkan ketentuan tentang Restitusi berdasarkan PERMA No 1 Tahun 2022 Pasal 2 ayat (1) yaitu salah satunya berdasarkan keputusan LPSK. Contoh kasus perkara nomor 249/Pid.B/2019/ PN.Mrb.”
Yang harus dilakukan agar kebenaran ditegakkan, terhadap kasus ini Jaksa Penuntut Umum harus melakukan upaya hukum kasasi, dan JPU harus bisa membuktikan bahwa hakim telah salah menerapkan hukum dan tidak menerapkan hukum pembuktian sebagaimana mestinya serta melanggar hukum. Dengan mengkaitkan fakta fakta yang terungkap di persidangan sesuai dengan alat bukti sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP .
ayat (1)
1. Keterangan saksi.
2. Surat.
3. Keterangan Ahli.
4. Petunjuk.
5. Keterangan Terdakwa.
Ayat (2)
Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 30 UU 14/1985 yang telah diubah dengan UU 5/2004 dan diubah lagi dengan UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung. Bahwa Mahkamah Agung berwenang: ”Dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan Peradilan karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; dan/atau
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Selain itu, jika dirasa patut diduga keras ada pelanggaran, keluarga korban dapat melaporkan ke Komisi Yudisial dan ke Badan Pengawasan Hakim di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Selanjutnya, kalau patut diduga ada indikasi suap atau gratifikasi laporkan ke KPK/Kejaksaan/Kepolisian dengan menggunakan UU Tipikor.
Dalam persidangan hakim mempunyai hak independen dalam arti bebas dan mandiri, tapi perlu diingat hakim juga dibatasi dengan rambu rambu hukum yaitu hukum acara pidana dan kode etik hakim itu sendiri. Dalam hukum kita juga tahu tentang tujuan hukum yaitu, agar terciptanya:
1. Azas keadilan.
2. Azas kepastian hukum.
3. Azas kemanfaatan.
“Harapan saya kepada aparat penegak hukum, ayo tegakkan hukum sebagaimana mestinya. Faktor penegak hukum itu, sangat penting karena hukum kita sudah bagus tapi penegak hukumnya tidak objektif tidak kredibel maka akan menjadi sia-sia. Dan faktor negara juga harus berada didepan karena negara juga sebagai faktor penentu untuk tegaknya hukum, “tegasnya.
Senada dengan Dr Nurmalah SH., MH., CLA., DR (C) Heny Natasha Rosalina SH.,MH.,
merasa miris, “Kok bisa bebas karena seyogyanya kasus seperti itu pembuktiannya sederhana. Ada visum sebab awalnya korban badannya segar bugar kok bisa mati dalam keadaan babak belur. Pasti dalam sidang JPU sudah ajukan bukti – bukti jika tersangka bisa bebas tentunya menjadi pertanyaan besar bagi kita dan JPU harus lakukan Kasasi dan Mahkamah Agung harus objektif karena siapapun dia jika terbukti bersalah harus dihukum karena tidak ada yang kebal hukum, ” pungkasnya.
Red