Sekreteris Jendral (SWI) Sekber Wartawan Indonesia bersama 2 pakar pers di Jakarta
TRIBUNCHANNEL.COM – JAKARTA – Perpres Publisher Rights. Ini regulasi baru di industri pers Indonesia. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tersebut, memuat tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital Global untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Bagaimana mengeksekusinya?
“Tragedi Pers Indonesia”, Sekitar 75 persen porsi periklanan di Indonesia, telah disedot oleh Platform Digital Global. Hal itu diungkapkan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam acara puncak peringatan Hari Pers Nasional di Ancol, Jakarta Utara, pada Selasa, 20 Februari 2024 lalu.
Platform Digital Global yang dimaksud, antara lain, Google, Facebook, YouTube, Instagram, TikTok, dan X (dulu Twitter). Jajaran media digital tersebut, dikenal publik sebagai media sosial. Raihan sekitar 75 persen porsi periklanan di Indonesia, tentu tidak terjadi dengan tiba-tiba.
Dalam tiga tahun terakhir, media sosial yang menjadi bagian dari jajaran Platform Digital Global itu, telah berhasil merenggut perhatian sebagian besar masyarakat Indonesia. Media-media tersebut, telah menjadi sumber informasi utama masyarakat Indonesia. Setidaknya, dalam tiga tahun terakhir.
Hal itu terungkap dalam laporan survei kolaborasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Katadata Insight Center (KIC), bertajuk Status Literasi Digital di Indonesia 2022. Ada 72,6 persen responden pada tahun 2022, yang menggunakan media sosial sebagai sumber informasi utama mereka.
Itu merupakan persentase terbesar, yang porsinya melampaui media Pers Indonesia lainnya, seperti televisi, situs berita online, media cetak seperti koran dan majalah, maupun situs pemerintah. Penguasaan terhadap masyarakat Indonesia yang demikian besar, dengan sendirinya menjadikan Platform Digital Global tersebut sebagai magnet yang sekaligus menyedot kue periklanan.
Dengan demikian, Pers Indonesia menjadi kerdil, ketika berhadapan dengan Platform Digital Global. Minim audience, minim pula pendapatan iklan. Tragedi yang demikian, bukan hanya dialami oleh Pers Indonesia. Tapi, juga oleh perusahaan penerbitan pers di negara-negara lain. Jajaran pers di Uni Eropa, misalnya, sudah lebih dulu bereaksi serta sudah bergerak secara strategis menghadapi Platform Digital Global.
Pers Uni Eropa pada 25 April 2023, telah menetapkan 19 Platform Digital Global, termasuk Google, Instagram, TikTok, dan Twitter, yang memiliki jumlah pengguna yang sangat besar, untuk mematuhi regulasi yang lebih ketat terkait konten.
Hal serupa juga dilakukan oleh Pers Australia. Regulasi yang diterapkan oleh Pers Uni Eropa dan Pers Australia terhadap Platform Digital Global, antara lain, tentang revenue sharing yang berkeadilan dan transparan. Itu bagian dari upaya mereka untuk melindungi serta menjaga ekosistem industri pers di negara masing-masing.
“Tantangan Perpres Publisher Rights”, Lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tersebut, antara lain, terinspirasi oleh Pers Uni Eropa dan Pers Australia di atas. Presiden Joko Widodo memastikan, telah menandatangani Perpres Nomor 32 Tahun 2024 itu. Menurut presiden, penandatanganan dilakukan pada Senin, 19 Februari 2024, di Jakarta.
Hal itu ia kemukakan dalam acara puncak peringatan Hari Pers Nasional di Ancol, Jakarta Utara, pada Selasa, 20 Februari 2024 lalu. Pihak Platform Digital Global, sebagaimana bisa kita cermati di sejumlah media, menentang kelahiran Perpres Publisher Rights yang dimaksud. Bahkan, penentangan itu sudah mereka lakukan, jauh sebelum ditandatangani Presiden. Ketika masih berupa draft.
Pada Selasa, 25 Juli 2023, misalnya, Michaela Browning selaku Vice President for Government Affairs and Public Policy for Google Asia Pacific, mengatakan, rancangan terbaru Perpres tentang Jurnalisme Berkualitas yang tengah diusulkan, tidak dapat dilaksanakan. Aturan itu akan mengancam keberadaan media dan kreator berita, yang menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat Indonesia.
Sebaliknya, Pengamat Media Agus Sudibyo menyebut, Google sebenarnya tidak perlu khawatir terhadap Perpres Publisher Rights. Kekhawatiran itu justru menunjukkan inkonsisten Google. Maksudnya, kenapa Google menerima regulasi Publisher Rights Uni Eropa dan Australia, tapi menentang Publisher Rights Indonesia?
Padahal, secara substansi, Publisher Rights yang dimaksud, kurang-lebih serupa. Perpres Publisher Rights Indonesia terdiri dari 19 pasal yang mengatur ketentuan umum, perusahaan platform digital, kerja sama perusahaan platform digital dengan perusahaan pers, komite, pendanaan, dan ketentuan penutup.
Aturan tentang kerja sama platform digital dan perusahaan pers, dibahas dalam Pasal 7 ayat (2). Intinya, kerja sama antara platform digital dan perusahaan pers dalam pasal tersebut berupa lisensi berbayar, bagi hasil, berbagi data agregat pengguna berita, dan/atau bentuk lain yang disepakati.
“Mengapa Ada Dewan Pers”, Sesuai Perpres Nomor 32 Tahun 2024 itu memberi wewenang kepada komite yang terdiri dari Dewan Pers, akademisi, dan pemerintah, untuk memutuskan konten yang bisa dipublikasikan dalam platform-platform online, dalam konteks memastikan kualitas jurnalisme.
Kita tahu, perubahan fundamental Dewan Pers terjadi pada tahun 1999, seiring dengan terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Fungsi Dewan Pers Independen, tidak lagi menjadi penasehat pemerintah tapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural antara Dewan Pers dengan pemerintah diputus.
Michaela Browning dari Google menyebut, Perpres Nomor 32 Tahun 2024 dapat membatasi keberagaman sumber berita bagi publik. Karena, regulasi itu memberikan kekuasaan kepada sebuah lembaga non-pemerintah untuk menentukan konten apa yang boleh muncul online dan penerbit berita mana yang boleh meraih penghasilan dari iklan.
Agaknya, Michaela Browning menyoroti peran Dewan Pers sebagai lembaga non-pemerintah di Perpres Nomor 32 Tahun 2024. Ahli Hukum Pers Kamsul Hasan, juga menyoroti hal tersebut.
“Seharusnya, Pasal 6 yang tiba-tiba memunculkan Dewan Pers, tidak perlu ada di Perpres tersebut. Karena, di pasal-pasal sebelumnya, Dewan Pers sama sekali tidak pernah disebut,” ujar Kamsul Hasan, S.H.,M.H.
Dengan adanya Dewan Pers, regulasi itu merembet ke kategori media yang sudah terverifikasi faktual dan media yang belum terverifikasi faktual. Padahal, dalam Undang-Undang Pers, tidak dikenal istilah terverifikasi faktual. Dengan kata lain, masih cukup panjang perjalanan yang harus ditempuh, untuk mengeksekusi Perpres Publisher Rights tersebut.
Dalam diskusi dengan Ahli Hukum Pers Kamsul Hasan pada Jumat, 8 Maret 2024 lalu, ia menduga akan ada pihak-pihak tertentu yang akan mengajukan judicial review terhadap regulasi yang dimaksud. Baik secara formil maupun secara materil.
Disisi lain, hal itu akan membuka celah baru secara hukum, hingga terbuka peluang bagi pihak Platform Digital Global untuk mengulur-ulur waktu. Bahkan, bukan tidak mungkin, masalah internal di Pers Indonesia tersebut, menjadi perseteruan yang berlarut-larut, sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain.
Red