Ketua Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Jawa Tengah, Joko Tirtono, SH atau yang akrab disapa Jack
TRIBUNCHANNEL.COM – Blora – Penanganan kasus dugaan pemerasan oleh tiga oknum wartawan asal Semarang yang kini ditahan oleh Polres Blora menuai kontroversi tajam. Mereka dijerat dengan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, namun terdapat indikasi kuat bahwa ketiganya justru dijebak oleh pelapor yang seharusnya ikut diproses hukum.
Ketua Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Jawa Tengah, Joko Tirtono, SH atau yang akrab disapa Jack Lawyer, menyebut penangkapan ini sebagai preseden buruk bagi dunia jurnalistik dan kemunduran penegakan hukum di tubuh Kepolisian.
“Aneh sekali, ketiga wartawan itu datang ke Blora karena diundang oleh pihak yang mengaku korban. Tapi justru mereka yang dijebak, diberikan uang tutup berita, lalu langsung diciduk Polisi. Kalau ada uang sogokan, maka pemberi dan penerima sama-sama pelaku tindak pidana menurut Pasal 55 dan 56 KUHP, Penegakan Hukum Polres Blora diduga Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas, ”ujar Jack dengan nada geram.
Jack menyatakan keprihatinan mendalam bahwa penegakan hukum di Polres Blora tampak hanya menyasar pihak lemah, dalam hal ini para wartawan, sementara si pelapor yang memberikan uang suap justru tidak tersentuh sama sekali oleh proses hukum.
“Jangan sampai aparat menjadi alat kriminalisasi. Kita minta keadilan yang tidak berat sebelah. Kalau memang ada praktik BBM ilegal, kenapa tidak itu yang diproses? Kenapa malah wartawannya yang dijadikan kambing hitam? ”tegas Jack yang juga berlatar belakang wartawan reformasi ini.
Jack menduga kuat bahwa peristiwa ini sudah dikondisikan untuk menjebak ketiganya. Ia meminta Kapolri turun tangan mengusut tuntas apakah ada peran oknum aparat dalam skenario jebakan tersebut.
Dalam kasus ini, muncul juga argumen bahwa wartawan yang ditangkap tidak terdaftar di Dewan Pers. Namun, pernyataan resmi Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, membantah anggapan bahwa hanya wartawan terdaftar yang sah secara hukum.
“Setiap orang dapat mendirikan perusahaan pers dan menjalankan tugas jurnalistik tanpa harus mendaftar ke lembaga mana pun, termasuk ke Dewan Pers,” ujar Ninik, mengacu pada UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 4 dan 18.
Fakta ini memperkuat argumen bahwa penangkapan tidak boleh hanya didasarkan pada legalitas administrasi, apalagi jika wartawan tersebut sedang menjalankan fungsi jurnalistik menyelidiki dugaan kejahatan publik seperti penyalahgunaan distribusi BBM ilegal.
Berikut beberapa dasar hukum penting yang diduga diabaikan oleh Polres Blora:
Pasal 368 KUHP: Pemerasan harus disertai unsur paksaan atau ancaman. Jika uang diberikan secara sukarela (meskipun dengan motif pengondisian), maka unsur ini tidak terpenuhi.
Pasal 55 dan 56 KUHP: Baik pemberi maupun penerima sogokan dalam suatu tindak pidana harus sama-sama diproses hukum.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers:
Pasal 8: Wartawan yang sedang bertugas dilindungi hukum.
Pasal 18 ayat 1: Siapa pun yang menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana penjara 2 tahun atau denda Rp 500 juta.
Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/I/2023: Pendataan perusahaan pers bersifat sukarela, bukan syarat legalitas.
Suara Nurani: Di Balik Jeruji, Keluarga Menderita
Jack menegaskan bahwa ketiga wartawan yang kini mendekam di tahanan Polres Blora juga manusia biasa. Mereka punya keluarga, anak, dan istri yang kini ikut menanggung derita sosial dan ekonomi karena perlakuan hukum yang timpang.
“Mereka itu saudara-saudara kita. Bisa jadi ada kekeliruan di lapangan, tapi penanganannya harus proporsional dan manusiawi. Jangan dijadikan korban sistem yang cacat. Mari kita kawal kasus ini bersama, ” tutup Jack, penuh empati.
Kasus ini menjadi pengingat pahit bahwa kebebasan pers dan keadilan hukum di Indonesia masih rawan disalahgunakan. Jika Aparat Kepolisian hanya bertindak atas dasar tekanan atau skenario tertentu, maka kepercayaan publik akan terus tergerus.
Jeck menyerukan agar pihak berwajib memproses juga si pemberi uang, tangkap dan penjarakan pelaku usaha dugaan BBM ilegal yang menjadi akar persoalan, dan menghentikan praktik jebakan-jebakan yang justru melecehkan nilai-nilai hukum dan profesi jurnalistik.
Marno / Red