Ribuan umat Katolik dari Kevikepan Mbay memadati pelataran Kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Nagekeo, Rabu (5/6/2025).
TRIBUNCHANNEL.COM – Nagekeo – Dalam semangat Hari Lingkungan Hidup Sedunia, ribuan umat Katolik dari Kevikepan Mbay memadati pelataran Kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Nagekeo, Rabu (5/6), untuk menyuarakan satu seruan yang menggema kuat: tolak proyek Geothermal di tanah Flores.
Di bawah langit biru Nagekeo, suara-suara hati yang peduli akan kelestarian alam bersatu dalam aksi damai yang sarat makna. Dipimpin oleh Koordinator Lapangan Pater Marselinus Kabut, OFM, aksi ini bukan sekadar unjuk rasa, melainkan ziarah ekologis yang menggugah nurani—dengan orasi-orasi bernas dari para tokoh Gereja, termasuk Romo Vikep RD. Aster Lado dan Suster Erna.
Dalam pidatonya yang menggugah, Romo Vikep Aster Lado menyuarakan kepedihan sekaligus harapan umat atas tanah leluhur mereka yang terancam. Ia menyebut, pembangunan Geothermal bukanlah jalan bijak bagi Nagekeo maupun Flores, yang menyimpan kekayaan alam dan budaya tak ternilai.
“Pembangunan sejati adalah yang menghidupkan, bukan yang mematikan,” tegas Romo Vikep, penuh penekanan. “Kami tak menolak kemajuan, tapi menolak pengabaian terhadap kehidupan.”
Ia menyoroti berbagai risiko ekologis dari eksploitasi panas bumi—mulai dari pencemaran udara dan air, potensi bencana lingkungan, hingga retaknya harmoni di antara masyarakat adat. Ia pun menyayangkan minimnya keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan atas proyek tersebut.
“Jangan gadaikan Flores. Cabut penetapan Pulau Flores sebagai wilayah energi panas bumi,” lanjutnya dengan suara bergetar. “Jika ini tetap dilanjutkan, kami—Gereja dan umat—akan berdiri di garda rakyat, menjaga bumi dan tanah air.”
Suster Erna, yang turut menyampaikan orasi dengan penuh empati, menyentuh sisi kemanusiaan dari krisis lingkungan yang terjadi. Ia menekankan bahwa persoalan lingkungan bukan hanya urusan ekologis, melainkan juga tragedi moral dan sosial.
“Kita tak sedang berbicara tentang sampah atau air kotor semata. Kita sedang menyaksikan krisis kemanusiaan,” ujarnya. “Bumi menjerit, dan kita tak boleh menutup telinga.”
Ia menyebut data mencengangkan: lebih dari 60 ribu ton sampah dihasilkan Indonesia setiap harinya. Panggilannya sederhana namun dalam—mulailah dari kesadaran kecil, dari rumah dan hati masing-masing, untuk menjaga ciptaan.
Aksi damai ini berlangsung tertib, menyentuh, dan penuh semangat solidaritas ekologis. Spanduk, poster, dan simbol-simbol cinta bumi dibentangkan sebagai pesan tegas kepada para pemangku kebijakan: dengarkan suara rakyat, utamakan kelestarian lingkungan, dan hormati kehidupan.
Di tengah gegap gempita dunia yang semakin hiruk-pikuk oleh ambisi pembangunan, Flores hari itu menyampaikan suaranya. Suara yang tidak berteriak, tetapi mengalun kuat—menagih tanggung jawab moral, meminta keberanian dari pemimpin, dan mengingatkan kita semua bahwa bumi bukan warisan, melainkan titipan.
Red / Embu