Awak media dan Advokad cek lokasi perumahan Mulia Residence di Desa Sastrodirjan Kabupaten Pekalongan
TRIBUNCHANNEL.COM – Pekalongan – Jawa Tengah Belasan warga Perumahan Mulia Residence di Desa Sastrodirjan, Kecamatan Wonopringgo, Kabupaten Pekalongan, terjebak dalam perseteruan antara pemerintah desa dan mantan kepala desa dengan pihak pengembang. Konflik ini menyebabkan dua akses keluar-masuk kompleks ditutup, memisahkan warga dari dunia luar.
“Pintu depan perumahan diportal oleh mantan Kades, hanya motor yang bisa lewat. Lalu pintu belakang dilarang lewat oleh pihak desa dengan alasan tanah bengkok sehingga harus ada izin,” ungkap seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya.
Penutupan akses jalan telah berlangsung lebih dari satu tahun, tanpa penyelesaian meskipun sudah dimediasi beberapa kali, bahkan hingga ke tingkat kecamatan. Akibatnya, Perumahan Mulia Residence menjadi seperti kompleks mati yang terisolasi, membuat calon penghuni ragu untuk membeli rumah dan yang tidak tahan memilih pergi.
“Dari 132 unit rumah yang dibangun, hanya 17 rumah yang dihuni. Itu pun karena terpaksa,” ungkap seorang warga, menunjuk puluhan rumah kosong yang siap huni.
Ia menjelaskan konflik bermula dari akses penghubung antara desa dengan Perumahan Mulia Residence diklaim olah oknum mantan kades setempat sebagai miliknya, padahal jalan tersebut milik desa tetangga yang sudah dilakukan tukar guling karena suatu sebab.
Untuk menguatkan klaim tersebut kabarnya oknum kades itu mengaku memiliki sertifikat dan melakukan penutupan akses jalan warga Perumahan Mulia Residence dan menolak membuka akses sebelum dibayar oleh pengembang.
“Hal yang sama juga terjadi di akses pintu belakang perumahan. Pihak desa meminta imbal balik Rp 200 juta kepada pengembang bila ingin melewati jalan yang merupakan tanah bengkok milik desa tersebut,” jelasnya.
AM membeberkan pihak pengembang tidak memiliki persoalan dengan warga Desa Sastrodirjan, hal itu dibuktikan dengan disetujuinya permintaan Ambulan Siaga oleh pengembang pada saat pertemuan.
Namun rupanya keinginan warga memiliki Ambulan Siaga tidak mendapat persetujuan dari pihak desa dengan dalih tidak melalui musyawarah yang melibatkan perangkat desa.
“Pihak desa ingin pengembang membayar kompensasi sebesar Rp 200 juta tunai kalau ingin melewati tanah bengkok yang selama ini biasa dilalui truk muatan batu split milik warga setempat yang berlokasi di dekat perumahan,” terangnya.
Ia menduga sikap pihak desa maupun oknum mantan kades itu memiliki motif mencari keuntungan materi dengan memanfaatkan situasi kisruh sengketa tanah yang tidak selesai, akibatnya warga perumahan menjadi korban.
Sementara Sekretaris Desa (Sekdes) Sastrodirjan, Ahmad Zuhri tidak menampik adanya larangan melewati tanah bengkok tanpa ada azas kemanfaatan yang diterima desa. Namun permintaan kompensasi itu dilakukan untuk kepentingan masyarakat seperti memperbaiki Gedung Balai Desa.
“Kalau soal Ambulan Siaga itu menjadi urusan warga dengan pengembang. Kami merasa dilewati tidak dilibatkan, padahal sudah ada tanah bengkok yang menjadi kewenangan kami untuk bisa dilewati dengan cara memberikan kompensasi ke desa,” tukasnya.
Pihaknya sudah memberikan rincian Rencana Anggaran Belanja (RAB) perbaikan kantor desa sebesar Rp 200 juta, namun pihak pengembang hanya menawar Rp 60 juta. Karena tidak ada kesepakatan akhirnya tidak terealisasi.
“Kami keberatan karena kalau dihitung kurangnya masih banyak hingga akhirnya sampai sekarang tidak terlaksana. Anggaran RAB itu ada azas manfaat buat desa,” cetusnya.
Dikin/Red